Memasuki tahun 2014 ASEAN Economic Community (AEC) menjadi topik
yang semakin hangat diperbincangkan oleh hampir semua kalangan, khususnya bagi
para tenaga kerja. Setiap negara yang tergabung dalam ASEAN akan memasuki babak
baru dalam sejarah percaturan geopolitik dan geoekonomi global. Salah satu hal
yang melatarbelakangi terbentuknya AEC adalah adanya presepsi dari
negara-negara ASEAN apabila tidak tergabung dalam sebuah pasar besar yang
terintegrasi, maka akan tergerus dalam persaingan global yang semakin
meningkat. Pandangan akan sulitnya pembangunan dan penyediaan lapangan
pekerjaan mendorong ASEAN untuk membuat sebuah kebijakan baru dalam kerjasama
di bidang ekonomi. Pada akhirnya kesepakatan pembangunan integrasi ekonomi di
kawasan ASEAN tertuang dalam sebuah kebijakan yang dinamakan AEC. Pembangunan
adalah proses berkesinambungan yang harus ditempuh suatu negara untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Demi tercapainya tujuan tersebut
diperlukan sebuah pembangunan yang bersifat inklusif khususnya bagi tenaga
kerja.
Pembangunan inklusif adalah
pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum.
Permasalahannya adalah pembangunan yang acap kali terjadi di negara berkembang
adalah pembangunan eksklusif. Pembangunan eksklusif adalah pembangunan yang
hanya memperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi tetapi kurang memperhitungkan
penyerapan tenaga kerja, sehingga dampaknya pengangguran tinggi, kemiskinan
meningkat, dan kerusakan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara di
dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar, yakni sebesar 5,9% dalam
periode 2009-2013. Sebuah hal yang membanggakan, tetapi mengukur hasil
pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan membuat kita terlena dan
mengabaikan masalah ketidakmerataan masyarakat yang menerima hasil pembangunan.
Persoalan tercipta atau tidaknya
pembangunan inklusif tenaga kerja bukan hanya masalah orientasi pembangunan
dari suatu negara, tetapi juga masalah siap atau tidaknya tenaga kerja
Indonesia bersaing dalam lingkup global. Bung Karno dalam orasinya pernah
berkata “Barang siapa ingin mutiara, ia harus berani terjun di lautan yang
dalam”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari Presiden Pertama Republik
Indonesia tersebut dapat menjadi refleksi bagi para generasi muda Indonesia
dalam menghadapi tantangan global. AEC adalah sebuah lautan yang dalam tetapi
menawarkan mutiara yang melimpah. Mutiara memang bisa dibeli di pasar, tetapi
dengan harga yang tidak murah. Keuntungan hanya akan didapat bagi mereka yang
melakukan persiapan matang, memiliki kemampuan menyelam yang handal, dan berani
menyelam ke hingga ke dasar lautan.
Pemerintah Fokus Ciptakan Lapangan Kerja
yang Layak
Pemerintah Indonesia terus fokus
pada upaya penciptaan lapangan kerja layak dan berkeadilan untuk menekan angka
pengangguran sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
"Pemerintah terus berkomitmen memajukan aspek ekonomi sosial dan
lingkungan masyarakat," kata Menteri Ketenagakerjaan Muhamad Hanif Dhakiri
dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Reyna Usman di Jakarta, Selasa
(24/2/2015).
Sambutan itu disampaikan dalam
diskusi yang diselenggarakan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bertajuk
"Mencapai Pembangunan Berkelanjutan melalui Penciptaan Lapangan Kerja dan
Pekerjaan yang Layak untuk Semua". Diskusi yang diselenggarakan itu adalah
pertemuan nasional yang menjadi bagian dari Segmen Integrasi Dewan Ekonomi dan
Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC) 2015 di New York pada akhir Maret.
Dalam sambutan itu, Muhamad Hanif
mengatakan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan akan dilakukan melalui lima
pilar utama program perluasan penciptaan lapangan pekerjaan yakni perbaikan
layanan dan sistem informasi dan peningkatan keterampilan dan kapasitas
pekerja.
Kemudian, pengembangan sumber daya
dan usaha kecil menengah, peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk
infrastruktur berbasis komunitas serta program darurat ketenagakerjaan. Reyna
mengatakan selain pekerjaan layak dan berkeadilan, jaminan sosial dan tingkat
upah untuk kesejahteraan pekerja, peningkatan produktivitas kerja di daerah
pedesaan juga menjadi perhatian pemerintah.
Hal tersebut, katanya, sesuai dengan
upaya ILO untuk mengkaji pembelajaran dan rekomendasi kebijakan mengenai
pekerjaan layak dan pembangunan berkelanjutan. Dengan target menciptakan dua
juta lapangan kerja, pihaknya juga mengajak investor untuk menciptakan industri
yang dapat memberikan lapangan pekerjaan lebih banyak.
"Target menciptakan lapangan
kerja dua juta orang itu bisa pada sektor padat karya, kita mengajak
investor-investor agar membuka padat karya tetapi tidak hanya di Jawa tetapi di
luar Jawa," ujarnya usai diskusi itu. Tentunya, pemberdayaan sumber daya
manusia untuk padat karya, pelatihan teknologi tepat guna dan pendidikan
kewirausahaan maupun keterampilan bekerja di industri-industri akan terus
ditingkatkan, katanya. Ia mengatakan pihaknya juga akan mendorong perluasan
kesempatan kerja bagi pekerja muda seperti lulusan sarjana yang belum
mendapatkan pekerjaan sesuai.
"Kami akan mendorong generasi
muda, pekerja muda juga didorong yang penganggur dan setengah penganggur kita
harus bekerja yang layak dan 'green jobs' (pekerjaan ramah lingkungan,"
ujarnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Agustus 2014, jumlah penganggur
terbuka sebanyak 7,24 juta orang atau sekitar 5,94 persen. Angka itu
menunjukkan kenaikan jika pada Februari 2014 jumlah penganggur terbuka 7,15
juta orang atau sekitar 5,70 persen.
Untuk itu, lanjutnya, seluruh
masukan dan kerja sama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
pekerjaan layak dan menekan angka pengangguran di Indonesia. Pertemuan nasional
itu mendiskusikan permasalahan perburuhan dan ketenagakerjaan mengenai enam hal
yakni kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan industri manufaktur dan memperluas
sektor jasa yang berkualitas tinggi.
Kemudian, peran upah minimum,
perundingan bersama dan bentuk reformasi lainnya untuk mengurangi ketimpangan
upah dan reformasi dan pelatihan bagi pekerja. Selain itu, diskusi yang
berlangsung dua hari hingga Rabu (25/2) itu juga akan membahas permasalahan
terkait pelatihan bagi pekerja, sistem pensiun untuk membantu mempromosikan
pertumbuhan inklusif.
Dua permasalahan lainnya adalah
perlindungan pekerja migran dan kebijakan untuk pekerjaan yang lebih baik di
pedesaan. "Tantangan di masa mendatang adalah mempertahankan kinerja
ekonomi dan memastikan proses pembangunan menjadi lebih inklusif dan
berkelanjutan melaluinpertumbuhan yang kaya lapangan kerja," kata Asisten
Direktur Jenderal ILO dan Direktur Regional untuk Asia dan Pasifik Tomoko
Nishimoto.
Kendala
dalam Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Sejak ditandatangani oleh 10 Kepala
Negara ASEAN di Singapura pada 20 November 2007, AEC Blueprint telah menetapkan beberapa tujuan integrasi ekonomi ASEAN.
Salah satu tujuannya adalah memberikan jaminan kebebasan mobilitas bagi para
tenaga kerja di kawasan. Komitmen Indonesia dalam liberalisasi jasa di tingkat
ASEAN tercantum dalam Schedule of
Specific Commitment pada pertemuan AFAS paket ke-6 2007 meliputi jasa
bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan,
jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa teknologi
dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Setidaknya terdapat lima jenis
kendala khususnya bagi pekerja Indonesia untuk berkembang dalam AEC kelak.
Pertama, minimnya tenaga kerja terampil.
Dijaminnya mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan ASEAN akan menjadikan
persaingan antara para pencari kerja semakin ketat. Permasalahannya adalah
mobilitas tersebut hanya dijamin bagi para tenaga kerja terampil, padahal
menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2014 jumlah tenaga
kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) kebawah sebanyak
55.300.000 jiwa (46,80%). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding tenaga
terampil dengan lulusan diploma sebanyak 3.100.000 jiwa (2,65%) dan universitas
hanya sebanyak 8.800.000 jiwa (7,49%). Ketika AEC mulai berjalan kelak kualitas
tenaga kerja terampil dari suatu negara akan menentukan bagaimana perjalananan
negara tersebut dalam mengarungi derasnya persaingan ekonomi antarnegara.
Dominasi lulusan SD yang sebesar 46,80% dari penduduk usia produktif akan
menjadikan langkah Indonesia semakin berat. Sisi positifnya adalah angka
perbaikan kualitas pendidikan penduduk usia produktif telah ditunjukkan dengan
adanya peningkatan dalam setahun terakhir, yakni penduduk berpendidikan tinggi
(diploma dan universitas) meningkat dari 11.300.000 (9,72%) pada Februari 2013
menjadi 12.000.000 (10,14%) pada Februari 2014. Kedepan salah satu tugas utama
pemerintah adalah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing
dengan memastikan pembangunan ekonomi berjalan linear dengan pembangunan
manusia.
Kedua, infrastruktur tidak memadai.
Sangat sulit berbicara peningkatan kualitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan
kualitas infrastruktur yang ada. Infrastruktur adalah komponen vital dalam
pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Infrastruktur yang baik akan
mendorong pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan infarstruktur di
Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Pada tahun 2013, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya 3,8% dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, alokasi dana untuk
infrastruktur hanya Rp 230 triliun atau 2,3%. Bandingkan dengan India yang
memberikan porsi biaya infrastruktur 7%, atau bahkan Tiongkok yang mencapai
11%. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong peningkatan kualitas
SDM sehingga dapat menjadi salah satu jawaban akan ketatnya persaingan tenaga
kerja kelak.
Ketiga, terjadi stigmanisasi rendahnya
kualitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai kasus demi kasus yang menimpa
TKI di dalam dan luar negri acap kali memberikan image bahwa tenaga kerja indonesia memiliki kompetensi rendah.
Terbentuknya stigma rendahnya kualitas TKI tentu tidak tepat, karena apabila
ditilik lebih jauh lagi banyak TKI yang mampu meraih berbagai posisi penting di
mancanegara. Namun karena terciptanya judgement
awal yang merugikan tadi, tidak jarang para TKI kerap dikesampingkan dalam
persaingan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Situasi ini tentu merugikan
Indonesia karena para pekerjanya akan mengalami kesulitan dalam mengakses
lapangan pekerjaan di lingkup ASEAN.
Keempat, terjadinya discriminative treatment terhadap TKI. Praktik discriminative treatment ini sebenarnya sudah dilarang dalam UU No.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan melanggar prinsip nondiscrimination dalam General Agreement on Trade and Services
(GATS). Permasalahannya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa banyak
pekerja asing memiliki penghasilan diatas para pekerja lokal. Posisi dan
tanggung jawab yang lebih besar tidak menjamin para TKI mendapat perlakuan
lebih baik daripada para TKA. Disisi lain pengupahan yang lebih rendah memang
menjadi daya tarik bagi para perusahaan untuk mempekerjakan para TKI. Namun
sebagai bangsa yang bermartabat tentu akan sedih apabila para pekerjanya
dipekerjakan bukan karena kompetensi yang dimiliki tetapi karena upah yang
murah.
Kelima, kelangkaan pekerja dengan
kualifikasi khusus. Ketika AEC berjalan kelak ada beberapa jenis formasi
pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi tertentu. Pekerjaan tersebut membutuhkan
keahlian khusus yang sulit didapatkan dari para TKI sehingga mendorong
penggunaan TKA. Misalnya saja di industri pengolahan produk perikanan, ahli
penyakit ikan yang dipakai adalah tenaga kerja dari Thailand, India, dan
Malaysia. Di Indonesia tenaga ahli ini masih terbilang langka.
Upaya
Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Dari kajian diatas dalam rangka
menghadapi AEC 2015 perlu dilakukan reorientasi pembangunan di Indonesia, dari
pembangunan eksklusif menjadi pembangunan inklusif khususnya bagi tenaga kerja.
AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi arus
barang, jasa, investasi dan tenaga terampil. Aliran komoditi dan produktifitas
di kawasan ASEAN diharapkan dapat mendorong ASEAN menjadi kawasan yang makmur
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menekan angka kemiskinan
dan masalah sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan bekal berupa pembangunan inklusif bagi tenaga kerja.
Langkah utama pembangunan inklusif tenaga kerja adalah mengarahkan pembangunan
nasional menuju peningkatan modal manusia (human
capital). Modal utama menghadapi AEC adalah sumber daya manusia yang
berkualitas. Peningkatan modal manusia hanya dapat dicapai jika infrastruktur
berupa pendidikan, transportasi, dan kesehatan terpenuhi di atas kebutuhan
minimal. Kualitas SDM harus ditingkatkan baik dari segi pendidikan formal
maupun keterampilannya. Pemberian pelatihan keterampilan juga harus
memperhatikan potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Misalnya
saja di Klaten yang terkenal akan lumbung padinya, maka disana dapat diberikan
pelatihan pengelolaan padi yang unggul. Mobilitas para tenaga kerja Indonesia
juga harus dijamin ketika AEC mulai berjalan dengan memanfaatkan adanya nota
saling pengakuan/ MRAs. Melalui MRA’s kualifikasi SDM Indonesia dapat diakui di
luar negri. Ketika MRAs mengalami hambatan, jalan lainnya adalah melalui
optimalisasi peran Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui jalinan kerjasama
dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang sedang dalam
proses pembangunan, Tenaga Kerja Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan
yang luar biasa, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negri
pembangunan yang selama ini dijalankan lebih berorientasi pada pembangunan
eksklusif. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi
angka pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan juga tinggi.
Pembangunan eksklusif terjadi karena dorongan untuk mengejar ketertinggalan
laju pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju. Demi mengejar ketertinggalan
tersebut, Indonesia berlomba dengan negara berkembang lainnya menjalankan
program pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pada sektor-sektor yang mampu
mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan mengabaikan dampak negatif yang
ditimbulkannya. Dari luar tantangan yang akan dihadapi Indonesia adalah
kenyataan bahwa batas negara di era globalisasi ini semakin terlihat kabur
khususnya dari aspek ekonomi. Dunia ini telah menjadi satu sistem yang terbuka,
saling terkoneksi dan saling ketergantungan antarnegara. Dalam konsep new paradigm of international relations
tidak ada negara manapun yang mampu menutup diri, semua saling berinteraksi dan
berintegrasi dalam pergaulan global. Persaingan tenaga kerja kelak tidak dapat
dihindari namun dapat dipersiapkan dengan pembangunan inklusif tenaga kerja.
Perlu di pahami bahwa pada akhirnya
berhasil atau tidaknya seseorang dalam persaingan tenaga kerja akan kembali
pada etos kerja orang tersebut. Seorang pelaut hebat tidak terlahir dari laut
yang tenang, dibukanya pasar tunggal yang bebas di ASEAN adalah ombak besar
yang akan menjadikan para tenaga kerja Indonesia berkembang menjadi lebih
besar, menjadi aktor penting di kawasan ASEAN. Rasa minder atas masalah
ketenagakerjaan sudah selayaknya dihapus. Bukan saatnya lagi untuk sekedar
berdebat dan berwacana, kita harus bangkit membangun diri mengejar
ketertinggalan kita dengan negara lain. Sudah saatnya para tenaga kerja Indonesia
memainkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN.
SARAN
Permasalahan dari pembangunan
inklusif dan juga penciptaan lapangan kerja ini berdampak buruk bagi
pemerintah. Karena menghambat program pemerintah dalam pemerataan
pembangunan, juga menghambat program pemerintah untuk memakmurkan bangsa
Indonesia. Salah satunya adalah pengangguran jika penciptaan lapangan kerja
tidak berjalan dengan lancar. Maka dari itu pemerintah membuat solusi-solusi
untuk mengurangi pengangguran. Pengangguran tidak bisa dihilangkan tetapi hanya
bisa dikurangi. Mengingat keadaan ekonomi bangsa Indonesia itu sendiri yang
masih belum mapan.
SUMBER :