Rabu, 22 Juni 2016

ARTIKEL PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF DAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA



Memasuki tahun 2014 ASEAN Economic Community (AEC) menjadi topik yang semakin hangat diperbincangkan oleh hampir semua kalangan, khususnya bagi para tenaga kerja. Setiap negara yang tergabung dalam ASEAN akan memasuki babak baru dalam sejarah percaturan geopolitik dan geoekonomi global. Salah satu hal yang melatarbelakangi terbentuknya AEC adalah adanya presepsi dari negara-negara ASEAN apabila tidak tergabung dalam sebuah pasar besar yang terintegrasi, maka akan tergerus dalam persaingan global yang semakin meningkat. Pandangan akan sulitnya pembangunan dan penyediaan lapangan pekerjaan mendorong ASEAN untuk membuat sebuah kebijakan baru dalam kerjasama di bidang ekonomi. Pada akhirnya kesepakatan pembangunan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tertuang dalam sebuah kebijakan yang dinamakan AEC. Pembangunan adalah proses berkesinambungan yang harus ditempuh suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Demi tercapainya tujuan tersebut diperlukan sebuah pembangunan yang bersifat inklusif khususnya bagi tenaga kerja.
Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Permasalahannya adalah pembangunan yang acap kali terjadi di negara berkembang adalah pembangunan eksklusif. Pembangunan eksklusif adalah pembangunan yang hanya memperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi tetapi kurang memperhitungkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dampaknya pengangguran tinggi, kemiskinan meningkat, dan kerusakan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar, yakni sebesar 5,9% dalam periode 2009-2013. Sebuah hal yang membanggakan, tetapi mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan membuat kita terlena dan mengabaikan masalah ketidakmerataan masyarakat yang menerima hasil pembangunan.
Persoalan tercipta atau tidaknya pembangunan inklusif tenaga kerja bukan hanya masalah orientasi pembangunan dari suatu negara, tetapi juga masalah siap atau tidaknya tenaga kerja Indonesia bersaing dalam lingkup global. Bung Karno dalam orasinya pernah berkata “Barang siapa ingin mutiara, ia harus berani terjun di lautan yang dalam”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut dapat menjadi refleksi bagi para generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan global. AEC adalah sebuah lautan yang dalam tetapi menawarkan mutiara yang melimpah. Mutiara memang bisa dibeli di pasar, tetapi dengan harga yang tidak murah. Keuntungan hanya akan didapat bagi mereka yang melakukan persiapan matang, memiliki kemampuan menyelam yang handal, dan berani menyelam ke hingga ke dasar lautan.
Pemerintah Fokus Ciptakan Lapangan Kerja yang Layak
Pemerintah Indonesia terus fokus pada upaya penciptaan lapangan kerja layak dan berkeadilan untuk menekan angka pengangguran sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. "Pemerintah terus berkomitmen memajukan aspek ekonomi sosial dan lingkungan masyarakat," kata Menteri Ketenagakerjaan Muhamad Hanif Dhakiri dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Reyna Usman di Jakarta, Selasa (24/2/2015).
Sambutan itu disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bertajuk "Mencapai Pembangunan Berkelanjutan melalui Penciptaan Lapangan Kerja dan Pekerjaan yang Layak untuk Semua". Diskusi yang diselenggarakan itu adalah pertemuan nasional yang menjadi bagian dari Segmen Integrasi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC) 2015 di New York pada akhir Maret.
Dalam sambutan itu, Muhamad Hanif mengatakan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan akan dilakukan melalui lima pilar utama program perluasan penciptaan lapangan pekerjaan yakni perbaikan layanan dan sistem informasi dan peningkatan keterampilan dan kapasitas pekerja.
Kemudian, pengembangan sumber daya dan usaha kecil menengah, peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur berbasis komunitas serta program darurat ketenagakerjaan. Reyna mengatakan selain pekerjaan layak dan berkeadilan, jaminan sosial dan tingkat upah untuk kesejahteraan pekerja, peningkatan produktivitas kerja di daerah pedesaan juga menjadi perhatian pemerintah.
Hal tersebut, katanya, sesuai dengan upaya ILO untuk mengkaji pembelajaran dan rekomendasi kebijakan mengenai pekerjaan layak dan pembangunan berkelanjutan. Dengan target menciptakan dua juta lapangan kerja, pihaknya juga mengajak investor untuk menciptakan industri yang dapat memberikan lapangan pekerjaan lebih banyak.
"Target menciptakan lapangan kerja dua juta orang itu bisa pada sektor padat karya, kita mengajak investor-investor agar membuka padat karya tetapi tidak hanya di Jawa tetapi di luar Jawa," ujarnya usai diskusi itu. Tentunya, pemberdayaan sumber daya manusia untuk padat karya, pelatihan teknologi tepat guna dan pendidikan kewirausahaan maupun keterampilan bekerja di industri-industri akan terus ditingkatkan, katanya. Ia mengatakan pihaknya juga akan mendorong perluasan kesempatan kerja bagi pekerja muda seperti lulusan sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan sesuai.
"Kami akan mendorong generasi muda, pekerja muda juga didorong yang penganggur dan setengah penganggur kita harus bekerja yang layak dan 'green jobs' (pekerjaan ramah lingkungan," ujarnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Agustus 2014, jumlah penganggur terbuka sebanyak 7,24 juta orang atau sekitar 5,94 persen. Angka itu menunjukkan kenaikan jika pada Februari 2014 jumlah penganggur terbuka 7,15 juta orang atau sekitar 5,70 persen.
Untuk itu, lanjutnya, seluruh masukan dan kerja sama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pekerjaan layak dan menekan angka pengangguran di Indonesia. Pertemuan nasional itu mendiskusikan permasalahan perburuhan dan ketenagakerjaan mengenai enam hal yakni kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan industri manufaktur dan memperluas sektor jasa yang berkualitas tinggi.
Kemudian, peran upah minimum, perundingan bersama dan bentuk reformasi lainnya untuk mengurangi ketimpangan upah dan reformasi dan pelatihan bagi pekerja. Selain itu, diskusi yang berlangsung dua hari hingga Rabu (25/2) itu juga akan membahas permasalahan terkait pelatihan bagi pekerja, sistem pensiun untuk membantu mempromosikan pertumbuhan inklusif.
Dua permasalahan lainnya adalah perlindungan pekerja migran dan kebijakan untuk pekerjaan yang lebih baik di pedesaan. "Tantangan di masa mendatang adalah mempertahankan kinerja ekonomi dan memastikan proses pembangunan menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan melaluinpertumbuhan yang kaya lapangan kerja," kata Asisten Direktur Jenderal ILO dan Direktur Regional untuk Asia dan Pasifik Tomoko Nishimoto.
Kendala dalam Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Sejak ditandatangani oleh 10 Kepala Negara ASEAN di Singapura pada 20 November 2007, AEC Blueprint telah menetapkan beberapa tujuan integrasi ekonomi ASEAN. Salah satu tujuannya adalah memberikan jaminan kebebasan mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan. Komitmen Indonesia dalam liberalisasi jasa di tingkat ASEAN tercantum dalam Schedule of Specific Commitment pada pertemuan AFAS paket ke-6 2007 meliputi jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa teknologi dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Setidaknya terdapat lima jenis kendala khususnya bagi pekerja Indonesia untuk berkembang dalam AEC kelak.
Pertama, minimnya tenaga kerja terampil. Dijaminnya mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan ASEAN akan menjadikan persaingan antara para pencari kerja semakin ketat. Permasalahannya adalah mobilitas tersebut hanya dijamin bagi para tenaga kerja terampil, padahal menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2014 jumlah tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) kebawah sebanyak 55.300.000 jiwa (46,80%). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding tenaga terampil dengan lulusan diploma sebanyak 3.100.000 jiwa (2,65%) dan universitas hanya sebanyak 8.800.000 jiwa (7,49%). Ketika AEC mulai berjalan kelak kualitas tenaga kerja terampil dari suatu negara akan menentukan bagaimana perjalananan negara tersebut dalam mengarungi derasnya persaingan ekonomi antarnegara. Dominasi lulusan SD yang sebesar 46,80% dari penduduk usia produktif akan menjadikan langkah Indonesia semakin berat. Sisi positifnya adalah angka perbaikan kualitas pendidikan penduduk usia produktif telah ditunjukkan dengan adanya peningkatan dalam setahun terakhir, yakni penduduk berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) meningkat dari 11.300.000 (9,72%) pada Februari 2013 menjadi 12.000.000 (10,14%) pada Februari 2014. Kedepan salah satu tugas utama pemerintah adalah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing dengan memastikan pembangunan ekonomi berjalan linear dengan pembangunan manusia.
Kedua, infrastruktur tidak memadai. Sangat sulit berbicara peningkatan kualitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan kualitas infrastruktur yang ada. Infrastruktur adalah komponen vital dalam pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Infrastruktur yang baik akan mendorong pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan infarstruktur di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2013, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya 3,8% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, alokasi dana untuk infrastruktur hanya Rp 230 triliun atau 2,3%. Bandingkan dengan India yang memberikan porsi biaya infrastruktur 7%, atau bahkan Tiongkok yang mencapai 11%. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong peningkatan kualitas SDM sehingga dapat menjadi salah satu jawaban akan ketatnya persaingan tenaga kerja kelak.
Ketiga, terjadi stigmanisasi rendahnya kualitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai kasus demi kasus yang menimpa TKI di dalam dan luar negri acap kali memberikan image bahwa tenaga kerja indonesia memiliki kompetensi rendah. Terbentuknya stigma rendahnya kualitas TKI tentu tidak tepat, karena apabila ditilik lebih jauh lagi banyak TKI yang mampu meraih berbagai posisi penting di mancanegara. Namun karena terciptanya judgement awal yang merugikan tadi, tidak jarang para TKI kerap dikesampingkan dalam persaingan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Situasi ini tentu merugikan Indonesia karena para pekerjanya akan mengalami kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan di lingkup ASEAN.
Keempat, terjadinya discriminative treatment terhadap TKI. Praktik discriminative treatment ini sebenarnya sudah dilarang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan melanggar prinsip nondiscrimination dalam General Agreement on Trade and Services (GATS). Permasalahannya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa banyak pekerja asing memiliki penghasilan diatas para pekerja lokal. Posisi dan tanggung jawab yang lebih besar tidak menjamin para TKI mendapat perlakuan lebih baik daripada para TKA. Disisi lain pengupahan yang lebih rendah memang menjadi daya tarik bagi para perusahaan untuk mempekerjakan para TKI. Namun sebagai bangsa yang bermartabat tentu akan sedih apabila para pekerjanya dipekerjakan bukan karena kompetensi yang dimiliki tetapi karena upah yang murah.
Kelima, kelangkaan pekerja dengan kualifikasi khusus. Ketika AEC berjalan kelak ada beberapa jenis formasi pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi tertentu. Pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian khusus yang sulit didapatkan dari para TKI sehingga mendorong penggunaan TKA. Misalnya saja di industri pengolahan produk perikanan, ahli penyakit ikan yang dipakai adalah tenaga kerja dari Thailand, India, dan Malaysia. Di Indonesia tenaga ahli ini masih terbilang langka.
Upaya Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Dari kajian diatas dalam rangka menghadapi AEC 2015 perlu dilakukan reorientasi pembangunan di Indonesia, dari pembangunan eksklusif menjadi pembangunan inklusif khususnya bagi tenaga kerja. AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil. Aliran komoditi dan produktifitas di kawasan ASEAN diharapkan dapat mendorong ASEAN menjadi kawasan yang makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menekan angka kemiskinan dan masalah sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan bekal berupa pembangunan inklusif bagi tenaga kerja. Langkah utama pembangunan inklusif tenaga kerja adalah mengarahkan pembangunan nasional menuju peningkatan modal manusia (human capital). Modal utama menghadapi AEC adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan modal manusia hanya dapat dicapai jika infrastruktur berupa pendidikan, transportasi, dan kesehatan terpenuhi di atas kebutuhan minimal. Kualitas SDM harus ditingkatkan baik dari segi pendidikan formal maupun keterampilannya. Pemberian pelatihan keterampilan juga harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Misalnya saja di Klaten yang terkenal akan lumbung padinya, maka disana dapat diberikan pelatihan pengelolaan padi yang unggul. Mobilitas para tenaga kerja Indonesia juga harus dijamin ketika AEC mulai berjalan dengan memanfaatkan adanya nota saling pengakuan/ MRAs. Melalui MRA’s kualifikasi SDM Indonesia dapat diakui di luar negri. Ketika MRAs mengalami hambatan, jalan lainnya adalah melalui optimalisasi peran Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui jalinan kerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang sedang dalam proses pembangunan, Tenaga Kerja Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negri pembangunan yang selama ini dijalankan lebih berorientasi pada pembangunan eksklusif. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi angka pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan juga tinggi. Pembangunan eksklusif terjadi karena dorongan untuk mengejar ketertinggalan laju pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju. Demi mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia berlomba dengan negara berkembang lainnya menjalankan program pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pada sektor-sektor yang mampu mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Dari luar tantangan yang akan dihadapi Indonesia adalah kenyataan bahwa batas negara di era globalisasi ini semakin terlihat kabur khususnya dari aspek ekonomi. Dunia ini telah menjadi satu sistem yang terbuka, saling terkoneksi dan saling ketergantungan antarnegara. Dalam konsep new paradigm of international relations tidak ada negara manapun yang mampu menutup diri, semua saling berinteraksi dan berintegrasi dalam pergaulan global. Persaingan tenaga kerja kelak tidak dapat dihindari namun dapat dipersiapkan dengan pembangunan inklusif tenaga kerja.
Perlu di pahami bahwa pada akhirnya berhasil atau tidaknya seseorang dalam persaingan tenaga kerja akan kembali pada etos kerja orang tersebut. Seorang pelaut hebat tidak terlahir dari laut yang tenang, dibukanya pasar tunggal yang bebas di ASEAN adalah ombak besar yang akan menjadikan para tenaga kerja Indonesia berkembang menjadi lebih besar, menjadi aktor penting di kawasan ASEAN. Rasa minder atas masalah ketenagakerjaan sudah selayaknya dihapus. Bukan saatnya lagi untuk sekedar berdebat dan berwacana, kita harus bangkit membangun diri mengejar ketertinggalan kita dengan negara lain. Sudah saatnya para tenaga kerja Indonesia memainkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN.
SARAN
Permasalahan dari pembangunan inklusif dan juga penciptaan lapangan kerja ini berdampak buruk bagi pemerintah. Karena menghambat  program pemerintah dalam pemerataan pembangunan, juga menghambat program pemerintah untuk memakmurkan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah pengangguran jika penciptaan lapangan kerja tidak berjalan dengan lancar. Maka dari itu pemerintah membuat solusi-solusi untuk mengurangi pengangguran. Pengangguran tidak bisa dihilangkan tetapi hanya bisa dikurangi. Mengingat keadaan ekonomi bangsa Indonesia itu sendiri yang masih belum mapan.


SUMBER       :


Rabu, 08 Juni 2016

NEGARA INFLASI (SOMALIA)



NAMA       : Apresia Indra Satyo  (21212011)
KELAS       : 4EB22
NEGARA INFLASI (SOMALIA)

SEJARAH SOMALIA
Tanah Somalia terkenal sebagai Tanah Aromatik pada zaman Mesir kuno. Namun bangsa Somalia meyakini bahwa nenek moyang mereka sekarang adalah orang-orang Arab yang bermigrasi ke wilayah Somalia pada abad ke-7 pada masa penyebaran agama Islam sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh orang-orang Arab muslim. Sebagian besar dari mereka menetap dan berasimilasi dengan penduduk nomadik setempat yang akhirnya melahirkan bangsa Somalia kini. Sejarah modern Somalia dapat ditarik dari masa kolonialisasi Inggris dan Italia pada pertengahan tahun 1880-an. Daerah Zeila, Berbera diperintah oleh Inggris sebagai Somaliland Inggris dari tahun 1880-an sampai tahun 1960, sedangkan di wilayah selatan terdapat Somaliland Italia.

Setelah Perang Dunia II, Somalia menjadi wilayah perwalian PBB dan akhirnya mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1960 dengan nama Republik Somalia. Republik Somalia merupakan sebuah negara demokrasi parlementer sampai tahun 1969 sebelum akhirnya angkatan bersenjata mengambil tampuk kepemimpinan dan menjadikan Somalia sebagai negara sosialis dengan nama Republik Demokratik Somalia. Undang-undang dasarnya baru disahkan pada 1979 dan pemilihan umum telah dilakukan untuk memilih Majelis Rakyat. Selain itu, Somalia juga memiliki majelis hukum yang biasa dan yang berdasarkan syariah Islam. Somalia memiliki enam wilayah administratif yang meliputi Mijirtein, Mudugh, Benadir, Hiran, Juba Atas dan Juba Bawah. Somalia sekarang dipimpin oleh presiden dan perdana menteri, yakni presiden Sharif Ahmed dan perdana menteri Omar Ali.

Pada tahun 1977 Somalia sempat terlibat konflik dengan Ethiopia karena Somalia menginginkan wilayah Ogaden yang secara tradisional merupakan wilayah Somalia karena banyak sekali suku-suku Somalia yang menetap disana. Dengan bantuan Uni Soviet, Ethiopia berhasil mempertahankan wilayah itu dan menyebabkan lebih dari 1.000.000 keluarga mengungsi ke Somalia. Hal ini menimbulkan masalah pengungsi yang sangat besar di Somalia. Somalia sendiri memiliki jumlah tentara yang sangat kecil, karena negeri ini selalu dilanda konflik dan perang saudara yang berkepanjangan dan juga masalah perompakan yang belakangan menjadi sangat marak di wilayah laut Somalia.






TINGKAT INFLASI DI SOMALIA
                                                
Realisasi
Sebelum Ini            Tertinggi
Paling Rendah
Tanggal            Satuan
Frekuensi
-4.00   -3.00
216.00
-15.00
1961 2014
Persen


Nilai saat ini, data historis, perkiraan, statistik, grafik dan kalender ekonomi Somalia TingkatInflasi.

           
Somalia Harga
Terakhir            Sebelum Ini            Tertinggi
Paling Rendah
Satuan
[+]       -4.00    -3.00
216.00
-15.00
Persen




CARA SOMALIA MENGATASI INFLASI

Dilihat dari konflik yang dialami Somalia yang berpengaruh pada meningkatnya inflasi Somalia tidak terlalu jauh dengan Indonesia yaitu kemiskinan, perang saudara, dan tingginya tingkat kebodohan. Sehingga Somalia kemungkinan besar Somalia juga menggunakan cara mengatasi inflasi yang dilakukan oleh Indonesia yaitu :

Ø  Kebijakan Moneter yang Bersifat Mengurangi Jumlah Uang Beredar

Untuk mengatasi inflasi, tentu digunakan kebijakan moneter yang bersifat mengurangi jumlah uang beredar, yang meliputi:

Kebijakan Pasar Terbuka, yaitu dengan cara menerima uang dari masyarakat dengan begitu dapat mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan Diskonto, yaitu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara menaikkan suku bunga
Kebijakan Cadangan Kas, yaitu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan cara menaikkan cadangan kas minimum. Sehingga, bank umum harus menahan uang lebih banyak di bank sebagai cadangan. Dengan demikian, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
Kebijakan Kredit Selektif, yaitu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan cara memperketat syarat-syarat pemberian kredit. Syarat pemberian yang ketat akan mengurangi jumlah pengusaha yang bisa memperoleh kredit. Dengan demikian, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
Sanering, yaitu kebijakan Bank Sentral memotong nilai mata uang dalam negeri jika negara sudah mengalami hiperinflasi (inflasi di atas 100%). Dengan memotong nilai mata uang maka nilai uang yang beredar dapat dikurangi.
Menarik atau memusnahkan uang lama, yaitu kebijakan Bank Sentral mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara menarik atau memusnahkan uang lama. Dan untuk mengatasi inflasi pemerintah harus membatasi pencetakan uang baru, agar jumlah uang yang beredar tidak semakin bertambah.


Ø  Kebijakan Fiskal (Kebijakan Anggaran)

Kebijakan fiskal atau kebijakan anggaran adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran negara. Untuk mengatasi inflasi, pemerintah dapat melakukan kebijakan fiskal sebagai berikut:

a)      Mengurangi pengeluaran pemerintah
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah dapat mengurangi pengeluaran sehingga permintaan terhadap barang dan jasa berkurang, yang pada akhirnya dapat menurunkan harga-harga.

b)      Menaikkan tarif pajak
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah dapat menaikkan tarif pajak. Kenaikan tarif pajak akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Berkurangnya tingkat konsumsi akan mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa yang akhirnya dapat menurunkan harga-harga.


Ø  Kebijakan Bukan Moneter dan Bukan Fiskal

Selain dengan kebijakan moneter dan fiskal, untuk mengatasi inflasi pemerintah dapat menjalankan kebijakan berikut:

1.      Menambah hasil produksi
Untuk menambah hasil produksi, pemerintah dapat memberikan subsidi dan premi atau membuat peraturan yang mendorong pengusaha-pengusaha menjadi lebih produktif sehingga mampu menambah hasil produksi. Bertambahnya hasil produksi berupa barang dan jasa, diharapkan mampu mengimbangi jumlah uang yang beredar.

2.   Mempermudah masuknya barang impor
Dengan masuknya barang impor, jumlah barang yang masuk ke dalam negeri menjadi lebih banyak dan diharapkan mampu mengimbangi jumlah uang yang beredar. Untuk mempermudah masuknya barang impor dapat melalui penurunan bea masuk impor dan mempermudah aturan impor.

3.   Tidak mengimpor barang-barang dari negara yang sedang mengalami inflasi Untuk mencegah menularnya imported inflation (inflasi dari luar negeri), sebaiknya pemerintah tidak mengimpor barang-barang dari negara yang sedang mengalami inflasi yang umumnya menjual barang dengan harga lebih mahal.

4.   Menetapkan harga maksimum
Agar harga tidak terus-menerus naik, pemerintah dapat menerapkan harga maksimum sehingga produsen (penjual) tidak bisa menjual melebihi harga maksimum.

5.   Melarang penimbunan barang yang biasa dilakukan pedagang
Penimbunan barang bisa menyebabkan langkanya barang di pasaran sehingga memicu kenaikan harga-harga. Dengan melarang penimbunan, berarti mencegah kenaikan harga-harga.

6.      Menjaga kestabilan tingkat upah
Dengan menjaga kestabilan tingkat upah (tidak membiarkan upah naik terus-menerus) maka kenaikan biaya produksi bisa ditekan. Dengan demikian, pemerintah bisa mencegah naiknya harga jual barang-barang. Dalam hal ini pemerintah telah mencegah terjadinya Cost Push Inflation (inflasi dorongan biaya produksi).




SUMBER       :